CERPEN

SETELAH MEREKA PERGI

Oleh: Khozaimatun Kinanah



Ditinggalkan orang yang sangat dicintai  menjadi luka yang amat membekas dalam diri Zara. Kebahagiaan yang sempat bertandang seakan direbut paksa oleh takdir. Untuk kesekian kalinya, air mata Zara merembes, membasahi pipi putihnya. Ya, Zara kehilangan sosok itu, ayah dan Ibunya. Dua sosok yang menjadi sumber kebahagian dan semangat Zara dalam melakukan setiap hal. Mereka meninggal di waktu sama, akibat kecelakaan beruntun yang terjadi di jalan raya. Senyum merekah milik Zara seketika redup, seolah ia tak punya alasan lagi untuk bertahan dalam kerasnya kehidupan ini. 

Zara adalah seorang gadis yang masih berumur 12 tahun. Seseorang yang baru mulai mengerti betapa berartinya orang-orang terdekatnya, bahkan ia belum sempat bercerita kepada orang tuanya tentang kesan pertamanya saat menginjakkan kaki di bangku SMP.

Untuk kedepannya Zara akan sering berpura-pura. Pura-pura lupa bahwa ia tersiksa atas takdir yang tidak mengizinkannya untuk lebih lama hidup bersama kedua orang tuanya. Kilat ingatan seakan  melangkah mundur, mongorek kembali momen-momen indah yang sempat ia singgahi kemudian kata seandainya menjelma untuk terjadi. Seandainya kecelakaan itu tidak terjadi maka orang tuanya akan tetap bersamanya. Seandainya mereka tidak bepergian hari itu, pasti saat ini mereka masih bersama. Itulah hal yang selalu berputar dalam pikiran Zara.

Derap langkah kaki terdengar, menghampiri  tempat di mana Zara berada,

“Nak, apa yang kau lakukan?” sapa seseorang. Membuyarkan lamunan Zara. 

“Ikhlaskalah…!” ujar orang itu sembari mengelus-elus punggung rapuh milik Zara setelah ia menjangkau tempat yang di duduki oleh Zara. Ia kasian dengan Zara, sempat juga terlintas dalam benaknya kenapa kakak dan iparnya secepat ini pergi.

Tak ada respon dari Zara hingga tiba-tiba ia berbalik, menghamburkan pelukannya pada orang yang ada di sisinya, yang tak lain adalah bibinya sendiri, Asri namanya. Di sana, Zara sesenggukan, ia menumpahkan kesedihannya dalam pelukan sang bibi, kalimat yang ia lontarkan terpatah-patah seakan bahasa tak mampu mewakili apa yang dirasakannya. Melihat itu, Asri seolah terhipnotis untuk turut melepaskan tangis yang sudah menghimpit di dadanya, meminta untuk segera dilepaskan juga. Asri harus kuat, cukup Zara yang rapuh di sini. Jika semuanya lemah, siapa yang akan memberi dukungan? Tidak boleh. Dirinya tidak boleh lemah, ia harus menyalurkan kekuatan pada Zara. Asri mengambil nafas panjang, untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum mentransfer kekuatan pada ponaan kecilnya itu. 

“Menangislah lah, nak…! Tidak apa-apa, tapi janji jangan berlarut-larut. Ayah dan  Ibumu akan sedih melihat kamu seperti ini. Mana Zaranya bibi yang kuat, mana Zara yang selalu menebar keceriaan? Coba tatap mata bibi.” 

Asri mendogakkan kepala Zara dengan kedua tangannya supaya bisa melihat mata bening milik Zara. Ah…, mata itu tidak bening lagi, mata itu tidak cerah lagi, hanya pancaran kesedihan yang tampak di matanya. Dan Asri dari sekarang harus berusaha menegmbalikan keceriaan yang sekarang hilang dalam diri Zara. Asri harus menemukannya kembali. Harus!

“Dengan terus menangis dan meratap seperti ini tidak akan mengembalikan Ayah dan Ibumu. Bibi juga terluka sayang, tapi kita harus kuat. Hidup akan terus berlanjut tanpa meminta persetujuan dengan kita terlebih dahulu.”

“Bi…, kenapa? Kenapa mereka pergi?” tanya Zara.

“Apa salah Zara bi? Kenapa Tuhan harus mengambilnya sekarang bi, kenapa?”
Zara terus meracau dan mennagis seakan tidak siap menjalani takdir yang kini tersaji untuknya. Zara memukul-mukul dadanya, meminta sesak di dalam hatinya untuk segera pergi. Asri tidak tega melihat itu, ia berusaha menenangkan Zara.

Setelah Asri berusaha menenangkan, akhirnya Zara bisa mengendalikan dirinya, ia tak lagi sesenggukan dan meracau seperti tadi. Hanya saja, sorot mata itu membuat Asri tidak tega. Memang tatapan Zara tertuju pada Asri, tapi tatapan itu kosong, melambung tinggi entah ke mana. Mencari celah untuk menyangkal bahwa apa yang terjadi adalah kesemuan belaka, berharap semua itu hanyalah mimpi tidurnyaa, meski Zara tahu, inilah kenyataannya yang harus ia hadapi, tak lagi berjalan berdampingan dengan orang terkasihnya, hanya bisa mengenang setiap kejadian yang sempat ia rekam dalam hati dan otaknya.

“Percayalah nak, semua yang terjadi tidak datang begitu saja. Semua menyiratkan banyak makna. Kamu tidak sendiri, ada bibi di sini bersamamu juga keluarga kita yang lain.” 

“Kamu adalah orang yang kuat, kamu akan melewati jalan yang kau anggap terjal ini. Jika ssat ini kamu tak lagi bisa bergandengan tangan dengan orang tuamu, maka jangan lupakan ada tangan bibi yang siap sedia merangkulmu, seperti ini.” ucap Asri sembari menunjukkan tangannya yang ditautkan pada tangan Zara. Iya, zara tersenyum, tapi senyum itu masih getir. Belum benar-benar lepas seperti biasanya.

Asri membawa Zara ke dalam pelukannya, menyalurkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. 

***

6 bulan berlalu, Zara mulai menjalankan aktivitasnya kembali seperti sediakala. Sebelum beranjak dari tempat tidurnya, ia selalu menanamkan bahwa hidup akan terus berlanjut apa pun yang terjadi tak peduli seberapa sakit ia dan tak peduli seberapa terluka atau bahkan seberapa bahagianya dia, karena hidup bukan tentang dirinya saja melainkan banyak elemen yang ada di dunia ini. Bersyukur atas apa yang ada di sisinya dan yang belum terjadi padanya adalah upaya yang sedang ia lakukan. Bukankah bahagia tidak harus menunggu apa yang diharapakan terkabul dulu? Menerima keadaan yang terjadi juga merupakan upaya penyembuhan diri. 

Zara menghampiri bibinya yang sedang memasak di dapur,

“Pagi, bi…” sapanya dengan ceria.

“Pagi, Zara.” 

“Tolong ambilkan, bibi air Zara, bibi mau membasuh telur ini dulu  sebelum dimasak.”

“Baik, bi.”

Zara tak lagi tenggelam dengan kesedihannya. Asri selalu memberikan support kepada Zara untuk menjalani kehidupan ini. Ya, Zara sekarang tinggal bersama keluarga bibinya, Arsi. Zara pun mulai melangkah ke depan yang berarti bukan melupakan sesuatu yang pernah terjadi di belakang. Biarlah itu menjadi kenangan, kenangan manis yang memiliki ruang tersendiri dalam diri Zara. Kenangan yang tidak akan pernah Zara lupa untuk ia bawa ke mana melangkahkan kakinya. 

Mungkin secara kasat mata, Ayah dan Ibun Zara sudah meninggal sejak lama, tapi sebenarnya mereka masih hidup dalam hati dan ingatan Zara. Mereka tidak ke mana-mana tetap satu dalam diri Zara. Itulah sesuatu yang selalu Zara tanamkan pada dirinya sendiri. 


Waktu akan mengungkap apa yang belum kita ketahui, menyimpan kenangan yang telah kita lalui dan memotret sesuatu yang sedang terjadi. Menerima adalah bentuk pengakuan atas realisasi rasa syukur di setiap keadaan.

Buku dairy adalah yang menemani perjalanann hidup Zara selanjutnya. Ia menuangkan segala sesuatu yang ia rasakan ke dalam dairy tersebut yang menjadi teman ke duanya setelah bibinya, Asri. Kerinduan akan sosok orang tuanya tidak akan pernah bosan ia cantumkan dalam setiap lembarnya. Karena yang paling berat adalah menanggung rindu pada sosok yang wujudnya tidak lagi bisa dihadirkan. Kecuali berharap orang yang dirindu datang bertandang ke alam mimpi untuk menebus rasa yang rindu yang tak terbendung lagi. 

Tidak hanya itu, saat melakukan perbincangan dengan Tuhannya, Zara tidak pernah menyerah meminta untuk dipertemukan dengan orang tuanya. Memaksa Tuhan agar suatu saat nanti ia direstui untuk kembali bersama dengan orang terkasihnya. 







Komentar

Postingan populer dari blog ini